Suatu sore di Kafe Morozhenoye. Aku bertemu dengan seorang bidadari yang cantik sekali. Bermata bulan, bergaun embun, berambut waktu dan jemari seperti bening kali bermandi matahari. “Mengapa murung selalu wajahmu?”Tanyanya selirih bisik angin di bibir pasir. “Aku baru putus dari pacarku,”Jawabku getir. “Pochemu?” “Karena cemburu.” “Cemburu? Lucu!”Ia tertawa mengejekku. “Cinta kadang-kadang rapuh oleh cemburu,”Acuh kataku. “Cinta itu bunga dan cemburu itu kupu-kupu. Jika bunga dan kupu-kupu bersatu, maka bunga akan mekar dengan wajar.” Katanya seraya meninggalkanku dalam termangu. “Kapan kita bertemu?” “Satu waktu. Mungkin Sabtu atau Minggu.”Katanya seraya menancapkan sepasang bunga mawar ke dalam jambangan. Katanya seraya menghilang seperti bayangan bulan di tengah awan. Ia menghilang meninggalkannku dalam kesendirian. Lalu Sabtu sore di Kafe Morozhenoye. Seperti janjinya Bidadari Cantik ini tiba. Meletakkan jemari beningnya di atas meja.Sementara di luar ranting-ranting menggigil dipermainkan snyega. “Saya tidak percaya bahwa cinta itu ada. Vchera, segodnya dan zavtra,” “Cinta tanpa kepercayaan seperti pepohonan tanpa akar.” “Ah,ya?” “Ya, cinta adalah pelangi abadi di langit hati. Buah matang di ladang kehidupan. Penuh kasih dan sayang kita menyantapnya seraya mesra bertatapan.”Katanya sambil kembali menancapkan sepasang bunga mawar ke dalam jambangan. Sepasang bunga yang ia tanam sepekan silam tampak mekar dengan warna putih keperak-perakan. Kali ini ia menghilang sebelum aku sempat bertanya,”Kapan kita berjumpa?”. Seminggu kemudian aku tidak menjumpai lagi Bidadari Cantik itu di suatu sore di kafe Morozhenoye. Ajaibnya, keempat bunga mawar yang ditanamnya di dalam jambangan telah mekar dengan wajar. Sewajar cinta air pada akar. Cinta ular pada belukar. Seminggu, sebulan dan setahun pun berlalu. Aku tidak pernah berjumpa lagi dengan Bidadari Cantik itu. Di depan jambangan dengan keempat bunga mawar itu, kali ini aku memandangi turunnya salju. Ada suara-suara mengetuk pintu kalbuku. Suara rindu. Rindu bertemu Bidadari Cantik itu. Sepuluh tahun pun berlalu. Suatu sore di Kafe Morozhenoye. Aku duduk di bangku dengan wajah muram setelah mengalami kejadian tak menyenangkan tadi siang. Aku marah karena Moya Podruga telah memecahkan boneka kaca yang kuberikan untuk hadiah ulang tahunnya.Boneka kaca yang kupahat siang malam dengan tanganku sendiri. Boneka mirip bidadari sedang memeluk daun berbentuk hati. Kali ini, seperti mimpi aku bertemu lagi Bidadari Cantik itu. Ia hanya tersenyum padaku. Sebelum berlalu, dari jari-jemarinya muncul sepasang kupu-kupu berwarna ungu. Ia letakkkan di atas keempat bunga mawar itu. “Kamu menghiburku!” Kataku waktu itu. Setelahnya, aku tak pernah lagi bertemu Bidadari Cantik itu. Karena kesibukanku bekerja di Gorodskaya Duma, aku sudah jarang singgah di Kafe Morozhenoye sore-sore. Dua puluh tahun pun berlalu. Karena rindu, suatu sore aku mengajak istriku berkunjung ke Kafe Morozhenoye. Di sana, kami bertatapan dengan mesra. “Ya Lyublyu Tebya!” Kataku merayu. “Ah, kamu!” Istriku tersipu-sipu. Kami pun lalu membisu. Aku menatap ke tengah-tengah meja, ke tempat jambangan keempat bunga mawar itu. Kini, aku dapat melihat dengan jelas sepasang kupu-kupu ungu itu dengan mesra mencumbu kempat bunga mawar yang sedang mekar. Di sana pula, aku tiba-tiba melihat Bidadari Cantik itu muncul seraya mengedipkan matanya. “Hari ini aku percaya pada cinta,”Gumamku menatap kepadanya. “Apa?”Istriku tersentak tanya. Dalam bayanganku Bidadari cantik itu tertawa. “Hari ini aku tambah percaya bahwa cinta itu memang ada.”Kataku meyakinkannya. “Ah,ya?”Istriku menatap manja. “Ya, cinta itu ada di hadapanku, kamu, istriku!” Kataku sambil mengecup bibir manis istriku. Dalam bayanganku, kali ini Bidadari Cantik itu tersipu-sipu sebelum berlalu. Jakarta, 28 April 2003 ____________________ Catatan : Kafe morozhenoye : Kafe eskrim Pochemu? : Mengapa? Snyega : Salju Segodnya : Hari ini Vchera : Kemarin Zavtra : Besok Moya Podruga : Pacarku Gorodskaya Duma : Dewan Kota Ya Lyublu Tebya! : Aku Cinta Padamu!